Hubunganantara iman islam & ihsan. Islam, Iman & Ihsan adl satu kesatuan yg tdk bisa dipisahkan satu dgn lainnya. Iman adl keyakinan yg menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dgn cara ihsan, sbg upaya pendekatan diri kpd Allah. Oleh Almara Sukma* Allah Swt. memiliki 99 sifat sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran yang disebut dengan Asma'ul Husna. Selain itu, Allah juga mempunyai sifat wajib dan sifat mustahil, salah satu sifat wajib bagi Allah adalah wujud (ada). Apakah wujud Allah bisa dilihat oleh manusia? Manusia adalah makhluk yang lemah, manusia membutuhkan bantuan satu sama lain dalam [] By: Sukron Ma'mun. Tanggung Jawab kepada Allah adalah tanggung jawab tertinggi dari eksistensi manusia yang beragama. Sebab tujuan utama dari beragama adalah untuk mengabdi kepada Tuhan. Manusia yang memiliki nilai tanggung jawab yang kuat kepada Tuhannya akan memberikan efek positif kepada bentuk tanggung jawab lainnya (kepada makhluk). 38 Berdzikir adalah suatu yang diperintahkan Allah SWT dengan mengucapkan kalimat-kalimat toyyibah,tercantum dalam surat a. QS.Al-A'raf : 205 b. QS. Al-A'raf : 206 c. QS.Al-Baqarah : 222 d. QS.Al-Baqarah : 223 39. Salah satu dampak positif dari berdzikir adalah a. Selalu mengingat Allah SWT b. Banyak taubat kepada Allah SWT c Penghambaanmanusia kepada Allah merupakan batu ujian selama ia hidup di muka bumi. PERTANYAAN 4 wujud terdekat kepada kita bukanlah salah satu di antaranya, melainkan Allah sendiri. Salah satu karakteristik penting dari orang yang beriman kepada Allah adalah kemampuan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah melalui ciptaanNya. Ia melihat Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Fauzan rindu menjadi Mukmin. Ia ingin mendapatkan status menjadi “hamba Allah.” Ia berusaha hidup taat walau kadang banyak kelemahan. Fauzan adalah remaja pria yang ingin tahu cara menjadi hamba Allah yang taat dan terbaik agar mendapatkan kasih Allah. Apakah Anda seperti Fauzan yang ingin mendapatkan kasih Allah? Mari kita lihat pencarian Fauzan akan hal ini. Merindukan Status “Menjadi Hamba Allah” Fauzan banyak bertanya kepada teman dan ahli agama. Banyak sekali yang menyatakan hakikat manusia utama adalah mendapat status sebagai hamba Allah. Banyak ayat Al-Quran menyatakan hal ini. Contohnya “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Quran kepada hamba-Nya” Qs 251. Nabi Islam juga mendapat sebutan “hamba Allah” Qs 7219. Lebih lanjut ada ayat yang meminta manusia untuk menyembah Allah sebagai hamba. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah sebagai hamba dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya . . .” Qs 985. Ayat Suci Yang Mengubah Cara Pandang Fauzan Satu kali Fauzan mendengar informasi dari temannya. Ia mendengar cerita di kitab Allah yang membuatnya kagum. Berikut ini kisahnya Injil, Lukas 1511-24, parafrasa “Ada seorang ayah mempunyai dua anak laki-laki. Si bungsu tiba-tiba datang dan meminta pembagian warisan. Padahal sang ayah masih hidup. Lalu anak bungsu itu pergi ke negeri jauh untuk hidup berfoya-foya. Sampai hartanya habis dan timbul bencana kelaparan. Iapun melarat dan bekerja sebagai penjaga babi. Keadaan makin parah, sampai satu saat anak bungsu ini kelaparan. Ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi. Namun tidak seorangpun yang memberikan kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya. Dalam keterpurukan ia mau kembali ke rumah ayahnya. Dalam takut dan rasa bersalah ia berniat kembali sebagai “hamba” bukan “anak.” Namun, ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia. Lalu merangkul dan menciumnya. Bahkan ayah itu berkata kepada hamba-hambanya Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik. Pakaikanlah itu kepadanya. Kenakanlah cincin pada jarinya. Juga sepatu pada kakinya. Ambillah anak lembu tambun. Marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku telah mati dan menjadi hidup kembali. Ia telah hilang dan didapat kembali.’” Ayat-ayat ini menggambarkan kasih Allah bagi manusia berdosa. Anak yang penuh dosa itu sebenarnya puas menjadi hamba. Ia merasa tidak layak. Namun, rahmat Allah menerimanya sebagai anak. Beda Pola Pikir “Hamba Allah” dan “Anak Allah” Kisah ini menggelisahkan Fauzan. Ia melihat perbedaan pola pikir antara status menjadi hamba Allah dengan anak Allah. Jika orang bisa memilih menjadi hamba Allah atau anak Allah, pastilah memilih menjadi anak Allah. Perhatikan beberapa perbedaan ini 1. Hak-hak hamba Secara umum, status menjadi hamba mempunyai hak terbatas. Mereka hanya bekerja atau mengabdi pada tuannya. Hamba tidak mendapat warisan sama sekali. Mereka hanya mendapat upah pekerjaan. Kebanyakan hamba dan tuan tidak punya hubungan yang erat. Karena hanya sebatas pekerjaan saja. Juga hubungan berdasarkan kepercayaan terbatas. Sesuai hasil pekerjaan. Jika ada pelanggaran maka pasti ada sanksinya. 2. Hak-hak anak Sebaliknya anak memiliki banyak hak. Anak adalah anggota keluarga. Pasti mendapatkan warisan dari orang tua. Kasih dan kepercayaan adalah dasar hubungan ayah dan anak. Anak mematuhi perintah ayahnya karena mengasihi dan ingin membahagiakannya. Anak taat bukan karena merasa takut. Juga bukan agar mendapatkan kasih ayahnya. Tetapi, karena ayahnya telah mengasihinya. Sehingga menjadi bagian dari bakti dan ucapan syukur anak. Memang ayah bisa menghukum anaknya. Namun, itu terjadi karena sang ayah ingin yang terbaik untuk anak tersebut. Pilihlah Yang Terbaik Bagi Diri Anda! Fauzan mendengar bahwa Allah menyediakan jalan melalui Isa Al-Masih. Allah sangat mengasihi manusia. Ia mau menerima manusia bukan saja sebagai hamba melainkan juga sebagai anak. “Allah yang telah mengasihi kita. Ia mengutus Anak-Nya [Isa Al-Masih/Kalimatullah] sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Supaya semua orang yang menerima-Nya [Isa Al-Masih] menjadi anak-anak Allah. Dan menjadi ahli waris Kerajaan [surga]” Injil, 1 Yohanes 49-10, Yohanes 112-13, Yakobus 25, parafrasa. Fauzan senang karena adalah kehormatan besar ia bisa mendapat status “anak Allah” lebih baik daripada menjadi hamba Allah. Ia merasakan penerimaan dan kasih Allah. Fauzan hidup dalam ucapan syukur. Menjadi “hamba Allah” ataukah “anak Allah” yang Anda inginkan? Jika ingin mengalami kasih Allah dan jaminan surga-Nya, jadilah anak Allah dengan percaya kepada Isa Al-Masih! [Staf Isa dan Islam – Untuk masukan atau pertanyaan mengenai artikel ini, silakan mengirim email kepada Staff Isa dan Islam.] Artikel Terkait Berikut ini dua link yang berhubungan dengan artikel “Menjadi Hamba Allah atau Anak Allah, Mana yang Terbaik?” Jika Anda berminat, silakan klik pada link-link berikut Mengapa Sebaiknya Muslim Mengenal Allah Sebagai “Bapa”? Pewaris Surga Untuk “Hamba Allah” Islam Atau “Anak Allah” Kristen? Dapatkah Isa Al-Masih Menanggung Dosa Manusia? Video LEBIH BAIK MENJADI BUDAK ALLAH ATAU ANAK ALLAH? Fokus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut Menurut Saudara mengapa menjadi anak Allah lebih baik bahkan terbaik? Manakah yang Saudara pilih, menjadi hamba Allah yang dinilai ketaatannya, atau anak Allah yang beroleh kasih dan jaminan surga dari Allah? Mengapa? Mengapa Isa berkuasa menghapus dosa-dosa manusia dan menjadikan kita anak-anak Allah? Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus. Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.” Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel ini, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. atau SMS ke 0812-8100-0718 DIASUH OLEH USTAZ DR AMIR FAISHOL FATH; Pakar Tafsir Alquran, Dai Nasional, CEO Fath Institute Alquran hadir dengan mukadimah yang luar biasa yaitu surah al-Fatihah. Inti diturunkannya Alquran adalah untuk membimbing manusia agar menjadi hamba Allah, “Wamaa khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduni Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghambakan dirinya kepada-Ku.’’ QS adz-Dzariyat 56. Karena itu target utama Alquran adalah manusia. Dari pembukaan sampai penutupan tidak pernah lepas dari pembicaraan mengenai manusia. Kata “al alamiin” di pembukaan surah al-Fatihah maksudnya manusia. Demikian juga kata “an naas” di penutup Alquran adalah manusia. Di setiap surah ada panggilan berulang-ulang untuk manusia “ya ayyuhan naas wahai manusia, “ya ayyuhalladziina aamanuu wahai orang-orang yang beriman". Nama-nama surah banyak sekali dari nama-nama manusia. Seperti nama-nama para nabi surah Yusuf, Hud, Ibrahim, Muhammad dan sebagainya. Selain nama nabi juga ada nama Maryam dan Lukman. Betapa tingginya derajat manusia di sisi Allah SWT. Bukti paling jelas, perintah-Nya terhadap para malaikat agar bersujud kepada Nabi Adam “usujuduu li aadam”. Artinya, di atas manusia langsung Allah SWT. Betapa tingginya derajat manusia di sisi Allah SWT. Bukti paling jelas, perintah-Nya terhadap para malaikat agar bersujud kepada Nabi Adam. Bahwa manusia tidak pantas menghambakan dirinya kepada makhluk, sebab tidak ada makhluk yang mengungguli-Nya. Dalam surah al-Fatihah kita diajarkan bagaimana menghambakan diri kepada Allah SWT. Dari ayat satu “bismillah” sampai ayat empat “maaliki yaumiddin” adalah pujian kepada Allah. Bahwa tugas seorang hamba hanya memuji, mengagungkan dan meninggikan-Nya. Dalam ayat “bismillah”, ada komitmen melibatkan Allah dalam segala urusan. Nabi SAW bersabda "Semua urusan tanpa Bismillah akan terputus dari-Nya." HR Ibn Hibban. Ayat berikutnya “alhamdulillah”, komitmen untuk selalu memberikan pujian hanya kepada-Nya. “Arrahmanirrahim” yakni komitmen berprasangka baik kepada-Nya. Bahwa semua yang datang dari Allah adalah bukti kasih sayang-Nya. “Malikiyaumiddin” yakni komitmen menjadikan akhirat sebagai tujuan. Setelah semua itu terbukti, baru mengucapkan ikrar kehambaan “iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’ien hanya kapada-Mu aku menghamba dan hanya kapada-Mu aku memohon pertolongan". Pertama, tidak akan menghamba kecuali hanya kepada Allah. Kedua, tidak akan bergantung kecuali hanya kepada-Nya. Dalam ikrar ini ada dua persaksian. Pertama, tidak akan menghamba kecuali hanya kepada Allah. Kedua, tidak akan bergantung kecuali hanya kepada-Nya. Untuk menguatkan ini harus didukung dengan doa “ihdinash shraathal mustaqim tunjukilah kami ke jalan yang lurus". Tidak cukup hanya dengan doa, lebih dari itu harus melakukan dua kewajiban. Pertama, mengikuti jejak orang-orang saleh “shirathalladziina an’amta alaihim” yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat seperti para nabi, para wali, para ulama, dan orang-orang saleh. Kedua, tidak kompromi dengan orang-orang zalim dalam melakukan kerusakan “ghairil maghdhubi alaihim waldhd dhallin”. Salah satu hikmah dari iman kepada Qodo’ dan Qodar adalah menjadikan manusia memiliki sifat Tawakal, hal ini dikarenakan? Terlah dituliskan di lauh mahfudz mahwa manusia tersebut memiliki sifat tawakal Tunduk dan patuh untuk tetap berbuat kebaikan Hal tersebut adalah ketentuan Allah Yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi pada hakekatnya karena kehendak Alloh Kunci jawabannya adalah A. Terlah dituliskan di lauh mahfudz mahwa manusia tersebut memiliki sifat tawakal. Dilansir dari Encyclopedia Britannica, salah satu hikmah dari iman kepada qodo’ dan qodar adalah menjadikan manusia memiliki sifat tawakal, hal ini dikarenakan terlah dituliskan di lauh mahfudz mahwa manusia tersebut memiliki sifat tawakal. Penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atau al-ubudiyyah adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Rabb-nya, serta menempatkan dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang maha sempurna, maha kaya, maha tinggi dan maha Subhanahu wa Ta’ala berfirman{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu lagi Maha Terpuji” QS Faathir 15.Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa manusia pada zatnya butuh dan bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memenuhi kebutuhan mereka lahir dan batin, dalam semua arti kebutuhan dan ketergantungan, baik itu disadari oleh mereka maupun tidak. Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman dan selalu mendapat limpahan taufik-Nya, mereka selalu mempersaksikan ketergantungan dan kebutuhan ini dalam semua urusan dunia maupun agama. Maka mereka selalu merendahkan diri dan memohon dengan sungguh-sungguh agar Dia Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong dan memudahkan segala urusan mereka, serta tidak menjadikan mereka bersandar kepada diri mereka sendiri meskipun hanya sekejap mata[1 Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ini termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang “… Ya Allah! jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri meskipun cuma sekejap mata” HR an-Nasa-i 6/147 dan al-Hakim no. 2000, dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” 1/449, no. 227]. Mereka inilah yang selalu mendapatkan pertolongan dan limpahan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala[2. Lihat keterangan Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di dalam “Taisiirul Kariimir Rahmaan” hal. 687].Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Kesempurnaan makhluk manusia adalah dengan merealisasikan al-ubudiyyah penghambaan diri kepada Allah, dan semakin bertambah kuat realisasi penghambaan diri seorang hamba kepada Allah Ta’ala maka semakin bertambah pula kesempurnaannya kemuliaannya dan semakin tinggi derajatnya di sisi Allah Ta’ala.Dan barangsiapa yang menyangka dengan keliru bahwa seorang hamba bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah tidak terkena kewajiban beribadah kepada Allah Ta’ala dalam satu sisi, atau dia menyangka bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna utama, maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat”[3. Kitab “al-Ubuudiyyah” hal 57 – Tahqiiq Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, cet. Darul ashaalah].Makna dan hakikat al-ubudiyyahOrang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaSombong dan membanggakan diri, perusak al-ubudiyyahPenutupMakna dan hakikat al-ubudiyyahal-Ubudiyyah penghambaan diri atau ibadah adalah sesuatu yang menghimpun rasa cinta yang utuh disertai sikap merendahkan diri yang sempurna[4. Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “al-Ubuudiyyah” hal. 94 dan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Thariiqul hijratain” hal. 510]. Maka tidaklah dikatakan suatu perbuatan sebagai ibadah atau penghambaan diri jika tidak disertai dua hal Islam Ibnu Taimiyah berkata “Ibadah atau penghambaan diri mengandung kesempurnaan dan puncak kecintaan serta kesempurnaan dan puncak sikap Menghinakan merendahkan diri. Sehingga sesuatu yang dicintai tapi tidak diagungkan dan merendahkan diri kepadanya maka tidaklah disebut sebagai sesembahan sesuatu yang diibadahi. Sebagaimana sesuatu yang diagungkan tapi tidak dicintai maka tidaklah disebut sebagai sesembahan sesuatu yang diibadahi. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” QS al-Baqarah 165”[5. Kitab “Majmu’ul fata-wa” 10/56].Imam Ibnul Qayyim berkata “Tidak ada jalan menuju keridhaan Allah yang lebih dekat dari jalan al-Ubudiyyah penghambaan diri kepada Allah Ta’ala dan tidak ada hijab penghalang menuju keridhaan-Nya yang lebih tebal dari pengakuan membanggakan dan kagum dengan diri sendiri. Penghambaan diri berporos pada dua patokan yang merupakan landasan al-Ubudiyyah, yaitu kecintaan yang utuh dan penghinaan diri yang sempurna kepada Allah Ta’ala.Kedua lndasan ini tumbuhnya dari dua pokok utama, yaitu mempersaksikan besarnya anugrah dan kurunia dari Allah Ta’ala bagi hamba-Nya, dalam memudahkan segala kebaikan dan melindungi dari semua keburukan, yang ini akan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Ta’ala, dan mempersaksikan besarnya kekurangan diri hamba dan ketidaksempurnaan amalnya, yang ini akan menimbulkan sikap merendahkan diri yang sempurna kepada Allah Ta’ala”[6. Kitab “al-Waabilush shayyib” hal. 15 – cet. Dar al-kitab al-Arabi].Imam al-Qurthubi berkata “Barangsiapa yang selalu taat dan beribadah kepada Allah, menyibukkan pendengaran, penglihatan, lisan dan hatinya dengan perintah-Nya, maka dialah yang paling berhak mendapatkan nama al-Ubudiyyah hamba Allah sejati. Dan barangsiapa yang melakukan kebalikan dari semua itu, maka dia termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ}“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” QS al-A’raaf 179[7. Kitab “Tafsir al-Qurthubi” 13/67-68].Inilah kedudukan mulia yang diminta oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam doa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”[8. HR at-Tirmidzi 4/577, Ibnu Majah no. 4126 dan al-Hakim 4/358, dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani].Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[8. Lihat kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” hal. 34 dan “Tuhfatul ahwadzi” 7/16].Inilah sifat yang menjadikan sempurna penghambaan diri manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah yang menjadikan bertingkat-tingkatnya kedudukan dan keutamaan manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga seorang hamba yang kelihatannya banyak berbuat kebaikan dan amal shaleh tapi di dalam hatinya tidak terdapat hakikat penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan sebaliknya, dia bersifat sombong, bangga diri dan lupa menisbatkan taufik kebaikan yang dikerjakannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hamba ini adalah hamba yang buruk dan tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ Ahmad menukil dari salah seorang ulama Salaf, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada ulama ini Sungguh aku melaksanakan shalat lalu aku menangis tersedu-sedu sampai-sampai hampir bisa tumbuh sayuran karena derasnya air mataku. Maka ulama inipun berkata kepadanya “Sungguh jika kamu tertawa tapi kamu mengakui dosa-dosamu lebih baik dari pada kamu menangis tapi kamu menyebut-nyebut membanggakan amalmu, karena sesungguhnya shalat orang yang menyebut-nyebut membanggakan amalnya tidak akan naik ke atas tidak diterima/diridhai Allah Ta’ala”[9. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Ighaatsatul lahfaan” 1/89].Inilah makna ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dari salah seorang ulama Salaf yang berkata “Sungguh ada seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa tapi karena dosa itu dia masuk Surga, dan ada seorang hamba lain yang melakukan kebaikan tapi karena kebaikan itu dia masuk Neraka”. Orang-orang bertanya dengan keheranan Bagaimana itu bisa terjadi?Ulama tersebut berkata “Hamba yang berbuat dosa, lalu setelah itu dosa tersebut selalu ada di hadapan kedua matanya karena dia takut dan khawatir dirinya akan binasa, maka dia selalu menangis, menyesali perbuatan dosa itu, merasa malu kepada Allah Ta’ala, menundukkan kepala di hadapan-Nya, dan merasa hatinya remuk di hadapan-Nya. Maka dosa yang diperbuatnya itu lebih bermanfaat bagi hamba ini dari pada banyak amal ketaatan, karena dampak yang muncul setelah itu berupa hal-hal sikap takut dan merendahkan diri/ penghambaan diri yang sempurna yang dengan itulah seorang hamba meraih kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat. Sehingga dosa yang dilakukannya justru menjadi sebab dia masuk hamba yang melakukan kebaikan, tapi setelah itu dia selalu menyebut-nyebut kebaikan tersebut di hadapan Allah, merasa sombong, bangga, merasa dirinya besar dengan kebaikan tersebut dan dia berkata aku telah melakukan banyak kebaikan. Maka kebaikan tersebut justru menimbulkan sifat sombong, bangga diri dan angkuh yang menjadi sebab kebinasaannya karena dia tidak merendahkan dirinya di hadapan Allah, padahal Dialah yang memudahkan bagi hamba tersebut untuk melakukan kebaikan itu”[10. Kitab “al-Waabilush shayyib” hal. 13 – cet. Dar al-kitab al-Arabi].Orang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaMereka adalah orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan utuh dan sempurna, sehingga mereka selalu bersegera dan berungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersamaan dengan itu, mereka tetap menundukkan diri dan meyakini ketergantungan diri mereka kepada-Nya, dengan selalu berharap dan takut Ta’ala memuji para Nabi dan Rasul-Nya dengan sifat ini dalam firman-Nya{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka selalu berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ dalam beribadah” QS al-Anbiyaa’ 90.Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam firman-Nya{تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari, sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” QS as-Sajdah 16.Juga tentang sifat-sifat mulia para Shahabat radhiallahu’anhum dalam firman-Nya{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا، سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ}“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia para Shahabat radhiallahu’anhum bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” QS al-Fath 29.Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna “tanda-tanda pada wajah mereka” dalam ayat ini “Yaitu Khusyu’ dalam shalat dan tawadhu’ sikap merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”[ oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau 4/260].Inilah makna al-ubudiyyah al-khaashshah penghambaan diri yang khusus yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an, dengan mereka disebut sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sejati’ dan digandengakan-Nya mereka dengan nama-Nya yang maha mulia, yang mana penggandengan ini mengandung arti “idha-fatu at-tasriif” kemuliaan dan keagungan bagi mereka[12. Lihat kitab “Mada-rijus saalikiin” 1/105, “at-Tahriir wat tanwiir” hal. 3910 dan “Fathul Majiid” hal. 429].Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebut Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai hamba-Nya{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” QS al-Israa’ 1.Juga firman-Nya{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam?” QS az-Zumar 36.Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah manusia yang paling sempurna dalam menunaikan penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[13. Lihat kitab “Fathul Majiid” hal. 41].Sebagaimana sifat ini juga yang Allah jadikan sebagai kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya[14. Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” 13/67] dalam firman-Nya{وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا. وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا}“Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri melksanakan shalat malam untuk Rabb mereka Allah Ta’ala” QS al-Furqaan 63-64.Sombong dan membanggakan diri, perusak al-ubudiyyahDari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda “Tidaklah masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat biji debu”. Ada yang bertanya Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sesungguhnya setiap orang senang memakai baju yang bagus dan alas kaki yang indah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran karena congkak dan merendahkan manusia“[15. HSR Muslim no. 91].Hadits ini menunjukkan bahwa sifat sombong dan membanggakan diri merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan bertentangan dengan sifat al-ubudiyyah yang hakikatnya adalah sikap merendahkan diri dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ Islam Ibnu Taimiyah berkata “Hakikat Islam adalah kepasrahan dan ketundukan diri seorang muslim hanya kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Karena orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka dia adalah seorang musyrik berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana orang yang menolak agama Islam maka dia adalah hakikat agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan dalam kitab-kitab-Nya. Yaitu kepasrahan dan ketundukan diri seorang hamba hanya kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Maka orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka dia adalah seorang musyrik berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana orang yang menolak agama Islam maka dia adalah orang yang menyombongkan hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda bahwa “Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat biji debu“[16. HSR Muslim no. 91]. Sebagaimana Neraka tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada keimanan meskipun seberat biji debu. Maka dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan sifat sombong sebagai lawan dari keimanan, karena sesungguhnya sifat sombong itu meruntuhkan hakikat al-ubudiyyah penghambaan diri seorang hamba. Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda Allah berfirman “Keagungan adalah sarung-Ku dan kebesaran adalah selendang-Ku, maka barangsiapa melawan-Ku dengan merasa memiliki salah satu dari kedua sifat itu maka Aku akan mengazabnya“[17. HR Abu Dawud no. 4090 dan Ibnu Majah no. 4174, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani].Maka sifat keagungan dan kebesaran termasuk sifat-sifat yang khusus dalam rububiyah Allah sifat-sifat Allah, seperti menciptakan, mengatur dan menguasai alam semesta beserta isinya. Dan sifat kebesaran lebih tinggi dari sifat keagungan, oleh karena itu, sifat kebesaran dijadikan pada kedudukan selendang, sebagaimana sifat keagungan dijadikan pada kedudukan sarung[18. Kitab “al-Ubuudiyyah” hal. 30].Oleh karena itu, seorang hamba yang selalu merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih baik dan lebih mulia dari pada seorang yang selalu membanggakan dirinya meskipun amal ibadahnya terlihat Mutharrif bin Abdillah bin asy-Syikhkhiir[19. Beliau adalah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in senior yang mulia dan sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau wafat tahun 95 H lihat kitab “Taqriibut tahdziib” hal. 534] berkata “Sungguh jika aku tertidur di malam hari tapi aku bangun di pagi hari dalam keadaan menyesali dosa-dosaku lebih aku sukai dari pada aku berdiri beribadah di malam hari tapi ketika di pagi hari aku bangga dengan diriku sendiri”. Imam adz-Dzahabi menukil ucapan beliau ini, lalu beliau mengomentari “Demi Allah, tidak akan beruntung orang yang menganggap dirinya suci atau bangga dengan dirinya sendiri”[20. Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” 4/190].PenutupAllah Ta’ala berfirman menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang telah menyempurnakan sifat al-ubudiyyah sehingga mereka meraih predikat takwa kepada-Nya{تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ}“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan maksiat di muka bumi, dan kesudahan yang baik itu surga adalah bagi orang-orang yang bertakwa” QS Al Qashash83.Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata “Jika mereka orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan maksiat di muka bumi, maka konsekwensinya berarti keinginan mereka hanya tertuju kepada Allah, tujuan mereka hanya mempersiapkan bekal untuk negeri akhirat, dan keadan mereka sewaktu di dunia selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik surga dari Allah Subhanahu wa Ta’ala”[21. Kitab “Taisiirul kariimir Rahmaan fi tafsiiri kalaamil Mannaan” hal. 453].Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketaatan kepada-Nya yang merupakan sebab keberuntungan kita di dunia dan akhirat, الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين***Penulis Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., DOA merupakan tanda Ubudiyah penghambaan diri secara total kepada Allah. Doa adalah ibadah yang sangat agung, yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Hakikat doa sendiri yaitu sebagai bentuk ketergantungan kita kepada Allah an berlepas diri dari daya danupaya makhluk. Rasulullah adalah hamba Allah yang paling banyak berdoa, memohon dan menunjukkan ketergantungan kepada Allah. Beliau senantiasa berdoa memohon kepada Rabb, baik pada waktu lapang maupun sempit. Pada peperangan Badar, beliau berdoa kepada Allah hingga selendang yang biasa beliau kenakan terjatuh dari pundaknya. Beliau memohon kepada Allah agar menurunkan pertolongan bagi kaum muslimin dan menimpakan kekalahan kepada kaum musyrikin. Beliau berdoa untuk sendiri, keluarga, ahlul bait beliau, untuk sahabat-sahabat beliau dan segenap kaum muslimin tak pernah beliau lewatkan. BACA JUGA Para Ayah, Berdoalah untuk Anak yang masih dalam Sulbi Di antara doa Rasulullah adalah اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ “Ya Allah, perbaikilah untukku agamaku yang merupakan pelindung segala urusanku. Perbaikilah urusan duniaku yang merupakan tempat aku mencari kehidupan. Perbaikilah urusan akhiratku yang merupakan tempat aku kembali. Jadikanlah kehdupanku ini sebagai tambahan segala kebaikan bagiku dan jadikanlah kematianku sebagai istirahat bagiku dari segala keburukan.” Diriwayatkan oleh Muslim. [] Sumber Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim. Yaumun fi Bait ar-Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam, Sehari di Kediaman Rasulullah. Jakarta Darul Haq.

wujud penghambaan manusia kepada allah adalah salah satu dari